Latest News

Thursday, April 11, 2019

2 SEJARAN “Kretek”: Imperium Dalam Kapitalism






Rokok Kretek dan Perlawanan







demo-kretek
Spanduk yang beredar pada peringatan Hari Anti Tembakau Sedunia

KRETEK dan KONSPIRASI dibaliknya (bag. 1)

“Tembakau itu suatu tanaman asing yang dipaksakan ditanam di Indonesia untuk pembentukan modal bagi kekuatan merkantilisme dan industri di negeri Belanda yang waktu itu menjajah Indonesia. Sebagai penjajah, Nederlandse Indie akan menjadikan Indonesia sebagai perkebunan raya yang menghasilkan hasil agraria yang nanti akhirnya menjadi modal bagi pembentukan industri dan kekuatan merkantilisme di Ibu Negeri jajahan. Orang Indonesia menanam tanaman-tanaman seperti kopi, lalu termasuk tembakau dan lain sebagainya tanpa dia bisa mengekspornya sebagai tanaman yang sangat menguntungkan perdagangan luar negeri. Bayangkan saja para petani tembakau, getah, gula dan lain sebagainya tidak bisa mengekspornya, harus disetor kepada penjajah dan merekalah yang akan mengekspornya. Kita menanam tembakau dan kopi, tetapi yang menentukan harga dan penggunaan produk itu adalah Bremen dan Antwerpen.” (WS. Rendra)
Dalam buku “Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran kretek” dituliskan sebagian tentang sejarah kretek berikut. – Menurut keterangan De Candolle, tanaman tembakau pertama kali diperkenalkan oleh Portugis di Jawa tahun 1600. Tak jauh berbeda, B.H.M Vlekke, dalam bukunya Nusantara: a History of Indonesia menyatakan, tembakau telah dibawa ke Asia oleh orang-orang Spanyol melalui Filipina dan mulai diketahui di Indonesia pada akhir kurun abad ke-16. Senada dengan Vlekke, Tijdschrift voor Nederlandsche-India dalam artikel berjudul “Lets Over de Tabakskultuur op Java” menyatakan, tanaman tembakau telah diketahui di Hindia Belanda pada akhir membudidayakan. Penduduk asli pada waktu itu menanam tembakau untuk kepentingan mereka sendiri. Terlepas dari siapa yang mula-mula memperkenalkan dan memulai budidaya tembakau di Nusantara, Denys  Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya II (Jaringan Asia) menulis:  “Sejak tahun 1603, Scott (Edmund Scott—pen.) sudah menyebutkan penggunaan tembakau yang luas di Banten: “They (the Javans) doelikewise take much tobacco and opium”, dan pada tahun 1626 Kompeni sudah mengepakkan penjualan komoditi itu di Batavia. Di Hindia Belanda, tembakau banyak ditanam di dataran rendah maupun di dataran tinggi yang tidak dihuni orang. Tembakau lokal ditanam penduduk untuk dikonsumsi kalangan sendiri. Pribumi menanam tembakau di tanah beririgasi, juga di tanah tegalan dan pekarangan. Tembakau ini dipakai penduduk untuk dibuat rokok, atau dikunyah begitu saja setelah mengunyah sirih.
Bagi yang hidup berasal dari desa, pernah melihat dalam kebudayaan jawa terdapat embah-embah kita mempunyai kebiasaan nyusur atau nginang, yaitu mengunyah sirih, pinang, gambir, tembakau, dan campuran bahan lainya hingga mulut menjadi merah. Ini bukan tanpa alasan, beberapa orang tua yang masih melakukan hal semacam itu, ketika saya tanyakan bertujuan untuk mengawetkan gigi dan menghilangkan kuman-kuman mulut.
Pun ternyata di luar jawa juga ada kebudayaan atau kebiasaan mengunyah tembakau tersebut hampir di seluruh wilayah Nusantara, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku hingga Papua, terdapat kearifan tersebut. Tetapi sayang sungguh disayang kebiasaan yang sudah dilakukan mungkin beratus tahun lalu oleh nenek moyang kita, juga tak luput dari sentuhan kampanye anti tembakau.
Agus Sunyoto, ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Nahdlatul Ulama (LESBUMI NU) yang juga seorang sejarawan, pada acara Maiyahan Cak Nun di Trowulan mengatakan beliau menemukan dokumen bahwa pada sekitar abad II sekitar tahun 280 masehi, pegawai bea cukai dari pelabuhan Guangzou China mencatat kapal “Kunlun” yang datang dari selatan yaitu jawa, kapal dengan panjang 70 meter dan tinggi geladak 10 meter dari permukaan laut, serta mampu memuat 700 orang dan barang 10 ribu ton barang perdagangan, dengan 100 anak buah kapal.
Ini bukti bahwa sebelum VOC hadir yang merupakan kekuatan ekonomi kolonial, perdagangan di kepulauan Nusantara telah sangat marak dan berkembang, dengan hasil bumi yang berupa rempah-rempah yang mampu menguasai pasar internasional dan menjadi sebuah daya tawar juga daya tarik bagi bangsa barat. Bagi yang mendalami sejarah tentunya mengetahui kemasyhuran perdagangan bangsa Nusantara dahulu.
Rempah-rempah menjadi pemicu bangsa barat, karena ingin mendapatkan barang murah langsung dari sumbernya mereka melakukan pelayaran ke kepualauan Nusantara. Alasan lainnya karena bangsa barat pada waktu itu beranggapan bahwa posisi asia sebagai sentra ekonomi-perdagangan dinilai jauh lebih mapan ketimbang kondisi di Eropa yang masih diselimuti oleh peperangan.
Dengan jalan atau pintu masuk perdagangan itulah merkantilisme barat dimulai. Penguasaan perdagangan, penguasaan politik, kebudayaan , keyakinan dan lain sebagainya. Singkat kata, misi perdagangan Belanda berubah menjadi penguasaan atas kepulauan Nusantara. Menjadikan nusatara sebagai perkebunan raya untuk mensuplai kebutuhan-kebutuhan barang yang tidak bisa ditanam di tanah eropa. Tebu, teh , kopi, tembakau, serta komiditi-komoditi asli Nusantara seperti kopra, cengkeh, serta rempah-rempah lain sebagainya, menjadi bahan pundi-pundi ekspor, pundi-pundi kekayaan Negeri Belanda.





Penjajahan “Kretek”: Imperium Dalam Kapitalis

Rokok Kretek dan Konspirasi dibaliknya Bag. 3 (Habis)


nicotin-war



Bangsa Indonesia adalah bangsa yang melahirkan Negara Indonesia, bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengandung anak-anak perjuangan, bangsa Indonesia adalah yang memproklamirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukanlah sekumpulan dari suku-suku yang berkonsensus nasional untuk membentuk Negara Indonesia, jadi lebih luas, lebih cair, dan lebih panjang lintasan sejarahnya.
Telah berabad-abad lalu bangsa kita kenyang terhadap retorika kepentingan kolonialisme. Terberangus ilusi peradaban dunia baru yang menawarkan mimpi-impi kebesaran, modernitas, serta globalisasi. Nyatanya hanya dinikmati oleh sekolompok kecil yang disebut penjajah, itupun juga harus dibayar mahal oleh seluruh lapisan masyarakat pada generasi pendahulu kita, dikekang dalam kemandirian, dan jatuh ke dalam kubangan penderitaan yang dalam. Sementara itu, sejarah pun membuktikan arus kolonialisme pada era leluhur kita berlanjut dalam arus pragmatisme globalisasi (neokolonialisme) yang saat ini terus menggerus fundamental kedaulatan bangsa Indonesia.
Memang Indonesia adalah surga bagi produsen rokok kretek, dimana 92% perokok mengkonsumsi rokok kretek. Namun, dengan adanya perangkat hukum penamanaman modal dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 200/PMK.04/2008 dan turunannya berupa regulasi Bea dan Cukai yang mengharuskan semua perusahaan rokok memiliki gudang/brak berukuran minimal 200 meter persegi telah berhasil membuka peluang pencaplokkan perusahaan besar rokok kretek serta merontokkan industri kecil rokok kretek (produksi kurang dari 300 juta batang rokok per tahun) di negeri ini.
Menurut Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), jumlah produsen rokok kecil menurun drastis dari 3.000 buah menjadi 1.330 atau 55.6%. Di sisi lain dominasi modal asing semakin berkuasa sehingga sebagian besar keuntungan yang didapat dari tiap batang kretek yang dibakar warga Negara Indonesia harus dikirim kepada pemilik modal besar asing. Pangsa rokok di Indonesia saat ini benar-benar dikuasai oleh perusahaan asing tidak hanya produk rokok putih namun juga rokok kretek. Selain produk rokok putih mereka yang sudah menguasai 50 persen pasar rokok putih di Indonesia, PT Philip Morris Indonesia perusahaan afiliasi dari Phillip Morris Inc. juga telah mengakuisisi kepemilikan saham PT. HM. Sampoerna Tbk perusahaan rokok kretek milik keluarga Sampoerna atau Lim Seeng Tee dari Surabaya sebesar 98,18% pada bulan Mei 2005. (Kretek Pustaka Nusantara: Hal. 45-46). 
Perkembangan perang tembakau modern ini tak lepas lewat lembaga-lembaga otoritas ilmu pengetahuan dan teknologi yang diseponsori atau berdasar pesanan industri farmasi. JHU (John Hopkin University) yang sejarah pendiriannya dan kebesarannya dekat dengan tradisi medis, menjadi salah satu bagian dari dinamika industri medis modern. JHU didirikan oleh Johns Hopkins pada 22 Januari 1876. Dia seorang filantropis yang dilahirkan dari keluarga petani tembakau di Maryland, yang memiliki lahan pertanian tembakau 2.000 meter persegi, dan mempekerjakan sedikitnya 500 budak. Lebih dari satu abad sejak didirikan, pada 2009 JHU dinobatkan sebagai universitas di urutan pertama yang bergerak dalam bidang ilmu pengetahuan, medis, dan pengembangan riset teknik rekayasa (engineering) di Amerika oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Nasional (NSF). Yang menarik dalam proyek-proyek riset dan penelitian ilmu pengetahuan modern, JHU tidak berjalan sendiri melainkan didukung oleh para lulusannya yang menguasai industri dan modal. Kemitraan JHU dengan para industrialis kakap Amerika terjalin secara mutualisme lewat gerakan filantropis para miliarder negara itu, yang ikut mengendalikan gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi bagian dari progresivitas industri. Salah satunya yaitu Michael Bloomberg sebagai pemilik perusahaan raksasa media dan layanan data keuangan Bloomberg L.P. (MUSLIHAT KAPITALIS GLOBAL: Selingkuh Industri Farmasi Dengan Perusahaan Rokok AS. Hal 74) 
Para lulusan JHU itulah yang antara lain mendirikan Johns Hopkins University Bloomberg School of Public Health, sebuah lembaga riset yang menjadi bagian dari JHU yang bersama Bloomberg kemudian menjadi mesin utama dalam perang global anti-tembakau. Dengan dukungan keuangan Bloomberg yang luar biasa. Peran Bloomberg tidak sendirian ada nama antara lain peran Robert Wood Johnson Foundation, yayasan milik pendiri perusahaan farmasi Johnson & Johnson. Ada pula Bill & Melinda Gates Foundation, yayasan yang dimiliki Bill Gates, Rockefeller Foundation (RF). (MUSLIHAT KAPITALIS GLOBAL: Selingkuh Industri Farmasi Dengan Perusahaan Rokok AS. Hal 76). 

Rokok Kretek dan Konspirasi dibaliknya (Bag. 2)

perang tembakau
Bila kita berbicara industri yang “asli” Indonesia, kita tidak bisa melepaskan keterkaitanya dengan tangan-tangan wirausahawan muslim bumiputra. Terdapat beberapa bentuk usaha yang menunjukan beberapa pengusaha bumiputra mampu berperan dan menegakkan martabat orang-orang pribumi, meskipun jumlahnya tidak banyak. Diantaranya adalah para pedagang, para pengusaha perkebunan rakyat, para pengusaha kerajinan seperti halnya perak dan batik, serta para pengusaha kretek. Selain mampu menjadi pesaing para pengusaha dan kapitalis asing, keberadaan mereka juga memiliki makna politik. (Margono, S. dkk. KRETEK INDONESIA: Dari Nasionalisme Hingga Warisan Budaya)
Dalam hal ini, jaringan usaha bumi putra mampu menumbuhkan rasa nasionalisme serta sentimen anti penjajahan. Selain itu pengusaha muslim bumiputra juga bisa dikatakan sebagai embrio perkumpulan Sarekat Dagang Islam atau SDI hingga menjadi Sarekat Islam (SI) yang lebih banyak berkancah di politik.
Menyebut industri kretek, pastilah terbersit dalam fikiran kita tentang sebuah daerah yang masyhur disebut Kota Kretek, yaitu Kudus. Bukan hanya karena sebagai “raja kretek” nasional, yang mampu atau pernah menguasai pasar kretek seperti Bal Tiga, Nojorono, Djambu Bol, dan Djarum memang lahir dan berkembang di Kudus. Tetapi, bagaimanapun juga secara historis kretek memang tidak bisa dilepaskan dari Kudus.
Ada beberapa pendapat mengenai siapa yang mula-mula menciptakan kretek serta berkembangnya industri. Tetapi yang paling populer adalah kisah tentang seorang pribumi Kudus bernama Haji Djamhari. Hingga pada seorang yang bernama Nitisemito dengan “raja kretek” Bal Tiga pada jamannya.
Tidak bisa dipungkiri industri kretek merupakan salah satu industri yang pertama kali lahir di negeri ini. Dan lebih satu abad lamanya, industri ini tetap bertahan melewati berbagai gejolak krisis perekonomian dunia. Secara sudut pandang “asalnya” boleh dikatakan, industri kretek adalah industri “asli” Indonesia, industri yang memang benar-benar berdikari seperti yang digelorakan Bung Karno, BERDIKARI-berdiri diatas kaki sendiri. Yaitu tembakau yang ditanam di bumi Indonesia, cengkeh dari hasil perkebunan bumi Indonesia, produksi dari industri Indonesia, dengan pekerja Indonesia, serta konsumen terbesar juga adalah rakyat Indonesia.
Faktanya industri kretek memang tak lekang oleh waktu. Ini terbukti ketika krisis ekonomi kawasan Asia Timur dan Tenggara pada paruh kedua tahun 1990-an, mengakibatkan kemerosotan nilai tukar rupiah yang anjlok sampai 800 persen. Sehingga banyak industri besar yang bermuatan impor tinggi benar-benar goyah, bahkan sebagian ambruk. Hal sebaliknya terjadi pada industri kretek yang memang bermuatan impor sangat rendah yakni hanya sekitar 4 persen. Karakter industri kretek kebal terhadap gejolak pasar internasional menjadikannya lebih mampu meredam guncangan pada keseluruhan mata rantai produksi dan pemasarannya, termasuk berbagai industri yang terkait mulai dari hilir sampai ke hulu. (Nuran Wibisono dan Marlutfi Yoandinas. Komisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) dalam buku Kretek:Kemandirian dan Kedaulatan Bangsa Indonesia. Hal 66)
Kenyataan bahwa digdayanya industri kretek tidak terpungkiri, dari sisi pemasukan Negara saja cukai hasil tembakau yang pada tahun 2015 mencapai Rp193,6 trilyun dan belum termasuk pajak rokok sebesar Rp13,9 trilyun. (“Penerimaan Bea Cukai Tembus 380 Trilyun”.http://www.beacukai.go.id/websitenew/berita/penerimaan-bea-cukai-tembus-380-triliun.html)
cukai

Bayangkan saja, itu bukan angka yang kecil, bila kita menengok uang sebesar itu berakar dari para petani tembakau Indonesia, para buruh linting, serta konsumen mayoritas masyarakat Indonesia sendiri. Sekali lagi menurut saya, ini benar-benar industri yang BERDIKARI.

Recent Post