Agama dan Kretek
Rokok Kretek Kebanggaan Bangsa Indonesia (Bag. 2 selesai)
oleh: Fuad Ramadhan
Karl Marx pernah berujar bahwa “Agama hanyalah candu bagi rakyat”. Jika agama merupakan obat tidur yang me-ninabobo-kan seseorang dengan janji surgawi sehingga seseorang menjadi malas untuk keluar dari zona nyaman, kretek pun juga memuat tembakau yang jelas-jelas mengandung nikotin yang dapat membuat seseorang bisa kecanduan. Kita harus akui itu. Bukankah kita harus adil sejak dalam pikiran? Namun apakah dengan hal tersebut maka agama dan kretek harus dibuang? Tunggu dulu.
Agama sejatinya adalah media yang memuat proses berpikir dan mengolah ruhani. Karena berfungsi sebagai media berfikir, maka untuk mencapai kebenaran sejati dari proses beragama seseorang harus meyakini dengan sepenuh hati dan mendapatkan pengalaman spiritual yang menempa ruhaninya agar membawa jiwanya ke hadapan Tuhan. Bahkan dalam agama islam yang saya anut, Nabi Muhammad SAW pernah memberikan waktu berpikir bagi sahabatnya untuk memikirkan apakah hatinya dapat menerima islam atau tidak. Mengapa? Karena agama, selain kebebasan, adalah hak asasi yang paling asasi. Ia tak dapat dipaksakan kepada siapapun.
Stephen Hawking pernah mengatakan bahwa ia mencari keberadaan Tuhannya dengan sains. Dari sisi agama pada umumnya, mungkin saja ia “unik”, tapi ia memiliki hak untuk itu. Karena dari sisi sufistik, pemahaman akan Tuhan berbeda antara manusia satu dengan yang lain bergantung sisi spiritual, meskipun dari sistem agama yang sama.
Selain memuat keyakinan, agama pun juga memiliki aturan-aturan yang harus ditaati pemeluknya. Jika ada seseorang yang di KTP nya menyebut agama tertentu, namun tak pernah melaksanakan aturan agamanya, masihkah layak disematkan sebuah agama padanya. Dalam pandangan manusia tentu tidak, namun tidak tahu lagi dalam pandangan Tuhan. Itulah sebabnya, agama yang dicari melalui riyadhah ruhani “kemungkinan besar” akan lebih kuat dari mereka yang “hanya” mendapat warisan dari lingkungannya. Hal tersebut dikarenakan karena peristiwa ruhani yang tidak bisa dilihat oleh semua orang. Karena keyakinan bersifat fluktuatif, maka seyogyanya riyadhah-riyadhah ruhani terus ditempa untuk penguatan iman.
Sama seperti memeluk agama, sejatinya menghisap kretek adalah proses berpikir dan pengalaman ruhani. Saya pernah membaca sebuah percakapan dalam tulisan Iqbal Aji Daryono mengenai temannya yang kembali menghisap kretek setelah beberapa saat ia tinggalkan kebiasaan tersebut. Menurutnya jika ia tidak menghisap kretek dirinya akan semakin gemuk. Namun ia kembali menghisap kretek agar kembali kurus. Alasannya, mana ada orang yang gemuk berumur panjang. Kalau orang menghisap kretek berumur panjang sangat banyak. Inilah yang dinamakan pengalaman ruhani.
Proses ruhani dari keputusan menghisap kretek sangatlah banyak. Namun yang pasti, pengalaman ruhani itu yang membuat setiap pengretek memiliki keyakinan berbeda. Termasuk oleh perokok yang hanya diwarisi lingkungan semacam saya. Jujur saja, saya merokok dan tiap hari join sama bapak. Terlebih ketika saya dihantam kere akut, yang mana bapak tidak segan-segan menawarkan kreteknya. Itulah sebabnya kimcil-kimcil perokok namun pipis saja belum lurus jika ditanyai alasan mereka menghisap rokok hanya “pringas-pringis”. Sama seperti orang mabok bela agama, namun nahwu shorof saja tidak pernah tahu. Atau berprilaku menjijikkan dengan prilaku mengolok-olok seorang kiyai sepuh karena tidak sejalan dengan pemahamannya dan tidak mau mengenal karya Pram hanya karena ia dituduh kuminis.
Wallohu a’lam
oleh: Fuad Ramadhan
Karl Marx pernah berujar bahwa “Agama hanyalah candu bagi rakyat”. Jika agama merupakan obat tidur yang me-ninabobo-kan seseorang dengan janji surgawi sehingga seseorang menjadi malas untuk keluar dari zona nyaman, kretek pun juga memuat tembakau yang jelas-jelas mengandung nikotin yang dapat membuat seseorang bisa kecanduan. Kita harus akui itu. Bukankah kita harus adil sejak dalam pikiran? Namun apakah dengan hal tersebut maka agama dan kretek harus dibuang? Tunggu dulu.
Agama sejatinya adalah media yang memuat proses berpikir dan mengolah ruhani. Karena berfungsi sebagai media berfikir, maka untuk mencapai kebenaran sejati dari proses beragama seseorang harus meyakini dengan sepenuh hati dan mendapatkan pengalaman spiritual yang menempa ruhaninya agar membawa jiwanya ke hadapan Tuhan. Bahkan dalam agama islam yang saya anut, Nabi Muhammad SAW pernah memberikan waktu berpikir bagi sahabatnya untuk memikirkan apakah hatinya dapat menerima islam atau tidak. Mengapa? Karena agama, selain kebebasan, adalah hak asasi yang paling asasi. Ia tak dapat dipaksakan kepada siapapun.
Stephen Hawking pernah mengatakan bahwa ia mencari keberadaan Tuhannya dengan sains. Dari sisi agama pada umumnya, mungkin saja ia “unik”, tapi ia memiliki hak untuk itu. Karena dari sisi sufistik, pemahaman akan Tuhan berbeda antara manusia satu dengan yang lain bergantung sisi spiritual, meskipun dari sistem agama yang sama.
Selain memuat keyakinan, agama pun juga memiliki aturan-aturan yang harus ditaati pemeluknya. Jika ada seseorang yang di KTP nya menyebut agama tertentu, namun tak pernah melaksanakan aturan agamanya, masihkah layak disematkan sebuah agama padanya. Dalam pandangan manusia tentu tidak, namun tidak tahu lagi dalam pandangan Tuhan. Itulah sebabnya, agama yang dicari melalui riyadhah ruhani “kemungkinan besar” akan lebih kuat dari mereka yang “hanya” mendapat warisan dari lingkungannya. Hal tersebut dikarenakan karena peristiwa ruhani yang tidak bisa dilihat oleh semua orang. Karena keyakinan bersifat fluktuatif, maka seyogyanya riyadhah-riyadhah ruhani terus ditempa untuk penguatan iman.
Sama seperti memeluk agama, sejatinya menghisap kretek adalah proses berpikir dan pengalaman ruhani. Saya pernah membaca sebuah percakapan dalam tulisan Iqbal Aji Daryono mengenai temannya yang kembali menghisap kretek setelah beberapa saat ia tinggalkan kebiasaan tersebut. Menurutnya jika ia tidak menghisap kretek dirinya akan semakin gemuk. Namun ia kembali menghisap kretek agar kembali kurus. Alasannya, mana ada orang yang gemuk berumur panjang. Kalau orang menghisap kretek berumur panjang sangat banyak. Inilah yang dinamakan pengalaman ruhani.
Proses ruhani dari keputusan menghisap kretek sangatlah banyak. Namun yang pasti, pengalaman ruhani itu yang membuat setiap pengretek memiliki keyakinan berbeda. Termasuk oleh perokok yang hanya diwarisi lingkungan semacam saya. Jujur saja, saya merokok dan tiap hari join sama bapak. Terlebih ketika saya dihantam kere akut, yang mana bapak tidak segan-segan menawarkan kreteknya. Itulah sebabnya kimcil-kimcil perokok namun pipis saja belum lurus jika ditanyai alasan mereka menghisap rokok hanya “pringas-pringis”. Sama seperti orang mabok bela agama, namun nahwu shorof saja tidak pernah tahu. Atau berprilaku menjijikkan dengan prilaku mengolok-olok seorang kiyai sepuh karena tidak sejalan dengan pemahamannya dan tidak mau mengenal karya Pram hanya karena ia dituduh kuminis.
Wallohu a’lam
Jika Kuba jumawa dengan cerutunya,
Amerika Serikat besar kepala dengan rokok putihnya,
Maka apa yang menghalangi kebanggaanmu pada KRETEK INDONESIA ??
oleh : Fuad Ramadhan
Sebatang kretek terselip di bibir Pram ketika ia di foto sambil mengetik mesin tik legendarisnya. Semula Pram tak menyangka, ia bisa hidup hingga usia 81 tahun. Ia menyangka bahwa usianya akan berakhir di kisaran 40-an, mengingat banyak kerabatnya (termasuk ayah dan ibunya) direnggut penyakit TBC di usia yang relatif muda. Pikirannya akan kematian membuatnya menulis seperti kuda. Selain ia juga tuli karena dihentak popor bedil militer.
Namun Pram tetaplah Pram. Satu-satunya sastrawan legendaris Indonesia yang berkali-kali namanya masuk nominasi penghargaan Nobel ini tetap saja suka menghisap kretek. Satu diantara sekian hal yang membuatnya sangat bangga dengan Indonesia. Benar, ia tak pernah malu menjadi orang Indonesia. Sekalipun negara ini berpuluh tahun membuangnya, menganiaya diri dan keluarganya serta membakari karya-karya tulisnya. Padahal tidak mungkin jika karya Pram terekam dengan sempurna, karya yang belakangan di-kanonisasi itu turut memberikan sumbangsih luar biasa pada dunia pendidikan kita. Namun nyatanya, karya-karya sastra yang menghiasi wajah pendidikan kita masih saja diwarnai karya orang yang malu menjadi orang Indonesia.
Benar, Pram adalah seorang penghisap kretek sejati. Ada sebuah paradoks yang cukup mencengangkan untuk saya pribadi, mengapa manusia yang hobi mengkonsumsi asap tembakau kebanyakan menjadi manusia yang teramat produktif dalam berkarya dan berumur panjang pula. Sebagai seorang revolusioner sejati, saya meyakini kebiasaan Pram mengenai kebiasaanya menghisap kretek adalah proses panjang nan berliku. Seorang revolusioner sejati yang membawa pesan perubahan tentu harus memikirkan bahwa setiap tindak tanduknya memberikan pesan positif bagi masyarakat. Sejalan dengan karya-karya Pram yang menghibur, mendidik dan penuh nuansa kontemplatif. Saya tidak hendak me”nabi” kan seorang Pram. Ia tetap manusia biasa. Saya hanya mengagumi keteguhannya dalam berkarya dan kejujuran setiap tindak tanduknya. Termasuk menghisap kretek.
Hari ini ada sekelompok orang yang gencar sekali mengkampanyekan Gerakan Anti Rokok. Entah apa motifnya, negara pun seakan memberikan legitimasi mengenai bahaya merokok. Di sisi lain, negara seakan ragu untuk memberikan tindakan tegas melarang peredaran rokok yang nyatanya memberikan pemasukan pajak yang nisbi besar. Disamping gerakan yang seakan membawa satu-satunya pesan kebenaran bahwa rokok itu mematikan dan haram namun “mbudeg” pada alasan lain, gerakan ini juga menerima pesangon dari WHO yang lumayan “wah”. Mengapa WHO turut campur pada kretek yang merupakan salah satu tradisi Nusantara dan menyamakan bahayanya dengan rokok putihan ala Amerika? Apa motif dibaliknya? (Bacalah banyak-banyak artikel di situs web komunitas kretek).
to be continued…. Agama dan Kretek